masih bukan tulisan bersambung, hanya tulisan yang relevan saja dengan yang dulu karena bercerita tentang anak-anak. tulisan ini dimulai dengan...............
di sebuah cafe pada suatu hari di akhir pekan, dua orang sahabat saling bertukar pendapat mereka setelah beberapa waktu berselang tidak duduk dan bercerita.
"wan...pernikahanku diundur" (tanpa berani melihat ke mata sahabatnya)
"kenapa?" (mencoba bertanya dengan tenang seolah bukan hal yang mengejutkan)
"menunggu semuanya siap, maksudku orang tuanya siap untuk melangsungkan pernikahan kami"
"kamu sendiri? atau kalian sendiri sudah benar-benar siap?" (kali ini si wan menatapnya lekat)
"siap (dengan penuh keyakinan)....tapi aku menjadi tidak yakin"
"whattt? tidak yakin akan menikah atau tidak yakin untuk menikah dengannya?"
"tidak yakin untuk menikah dengannya, ternyata rasa itu memang ada lho....tidak yakin untuk menikah dengan seseorang"
"kamu mencintainya?"(menatapnya lebih lekat lagi)
"cinta....cinta kami bukan seperti ....bukan seperti cara kamu menterjemahkan cinta, tidak pernah keluar kata-kata 'aku mencintaimu', tidak bisa mengeluarkan itu semua, baik dia maupun aku, tidak seperti kamu yang begitu ekspresif mengungkapkan perasaanmu"
"jadi....apa yang menjadikanmu tidak yakin?"
"waktu yang diundur"
"apa salahnya dengan mengundur waktu? toh kalian akan tetap menikah, dan semuanya akan bahagia dengan model pernikahan kalian, sebuah pernikahan yang penuh dengan nuansa politik"
"ngaco kamu.....masak nuansa politik" (tersenyum akhirnya dia)
"kamu bukan orang pertama yang ada di dunia ini yang menikah dengan gaya dipolitisir, tetanggaku memaksa anak gadisnya segera menikah hanya karena bapaknya akan segera pensiun, jadi momen resepsi pernikahan harus tepat, begitu juga dengan calon mertuamu"
"iya aku tau....tapi jeda waktu itu, banyak hal bisa terjadi"
"it's all about you and her and not about your parents. you love each other, don't you?" (maksa mendengar jawaban yang tegas)
"dia beda dengan kamu"
"jelas itu, lalu, tanyakan perasaannya padamu"
"dia juga bukan termasuk orang-orang seperti itu, menikah adalah ibadah baginya"
"aku juga menganggap demikian, lalu apa yang tidak yakin?"
"hal-hal lain bisa terjadi"
"kamu jatuh cinta dengan orang lain maksudmu? dalam waktu sesingkat itu? atau dia menerima orang lain? rasanya tak mungkin mengingat alasan politis yang diungkapkan orang tuanya. aku yakin kalian akan tetap menikah"
"hehhee...."
"kamu tidak yakin dengan diri kamu sendiri! dasarrr...."
"begitu menurutmu?"
"saya belum pernah menikah, dan saya hanya bisa menyampaikan apa yang orang-orang bilang ke saya 'wan, jodoh tak kan kemana, berdoa, minta yang terbaik dan berdoa', semoga ini membantu"
"orang2 itu mengatakan itu untuk disampaikan kepadaku"
"hahahhaha................."(dua orang sahabat tertawa berderai bersama sambil menerawang sendiri2 menatap ke arah yang berlawan, dua-duanya sama-sama tidak yakin akan jodohnya....ternyata)
pernikahan ternyata tidak selalu didasari oleh cinta, itu bukan hal yang baru, dari sejak jaman kerajaan2 dulu, di seluruh pelosok negeri ini, pernikahan adalah sebuah politisasi yang dilakukan oleh kedua orang tua. memang banyak juga pernikahan yang didasari cinta, bahkan cinta buta sekalipun, namun politisasi cinta selalu ada di dalamnya. dari pernikahan antara pangeran dan putri raja, pernikahan antara anak saudagar A dengan saudagar X, semua adalah dilatar belakangi oleh isu 'politik' orang tuanya. bahkan resepsi pernikahan yang memanfaatkan momentum ketika sedang menjabat sebuah jabatan empuk juga dilakukan oleh orang tua atau sebelum waktu lengser tiba.
memang, pernikahan adalah saat dimana orang tua melepaskan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih mandiri, lahir dan batin. wajar jika mereka masih merasa berkewajiban ikut campur dalam prosesi untuk menuju 'rumah baru' anak-anaknya. namun, haruskah demikian? saya tiba-tiba bertanya pada diri sendiri, akankah saya malu nantinya bila anak saya tidak ingin memiliki resepsi pernikahan besar-besaran ala orang2 sekarang yang ternyata saya idamkan untuk saya berikan pada anak saya nantinya? apakah saya akan disingkirkan dari komunitas saya nantinya bila anak2 saya lebih memilih sebuah pesta pernikahan sakral yang hanya mengundang sahabat terdekat mereka, tetangga dekat kami, dan saudara paling dekat kami ke sebuah tempat terpencil yang anak saya pilih atau hanya di kebun belakang rumah kami? apakah saya akan merasa tidak memberikan yang terbaik untuk anak2 saya bila ternyata mereka sendiri yang memilih untuk memiliki pesta kawin tamasya ala temen2 mereka?
saya jadi ingat pernah bilang, anak2 adalah juga pribadi yang merdeka dan mandiri, perasaan, dan keputusan mereka tidak bisa diatur semena-mena oleh orang tua, tapi jikalau anak hidup dan besar dalam lingkungan yang mengharuskan bahwa sebuh pernikahan "perlu" di politisir demi menjaga relasi, koneksi, dan reputasi maka itu juga tidak ada salahnya.
Beberapa teman saya menikah tanpa resepsi besar-besaran, bahkan tanpa undangan juga ada, sebagai salah satu sahabatnya, saya juga pernah mendapat undangan "an, kalo ada waktu dan sempat, datanglah ke pernikahanku, aku tidak mau membebanimu dengan itu semua. mohon doamu aja ya". dan saya berdoa untuknya dari jauh, karena memang kampungnya jauh dari tempat saya breada waktu itu. dan mereka, baik2 saja selama resepsi yang hanya dihadiri oleh kerabat dekat dan tetangga dekat, keluarga mereka nyaman2 saja, peduli amat apa kata orang jika mereka hanya mau (atau mungkin mampu) menyelenggarakan pesta pernikahan sakral terbatas, toh semua legal, syah dan direstui.
jujur saya tidak tau resepsi pernikahan macam apa yang saya inginkan bila saya menikah nantinya, saya tidak pernah memimpikannya sejak kecil. yang saya tau, bila saya menikah nanti saya akan menikah dengan orang yang saya cintai dan mencintai saya, direstui serta disaksikan oleh orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya dan mampu saya ingat satu persatu wajah mereka yang hadir dengan penuh cinta untuk kami berdua.
percakapan itu berlanjut
"kamu harus yakin....singkirkan berapa persenpun ketidakyakinan dari dirimu, bersyukurlah karena kamu akan menikah"
"bersyukurlah karena kamu memiliki cinta"
"dan bersyukurlah orang-orang yang menikah, tanpa atau dengan cinta"
"hehehehe............"(tawa derai mereka berdua)
(anak-anak itu hanya ingin membahagiakan orang tuanya, tidak lebih)